Batik yang dibuat menggunakan bahan malam, dan dikerjakan dengan penuh ketekunan oleh para perajin, dikenal dengan sebutan batik tulis. Namun, tidak semua batik dibuat dengan cara ini. Pada pertengahan abad ke 19, sebuah alat terbuat dari tembaga atau biasa disebut cap, digunakan untuk membuat pola pada kain batik. Teknik baru tersebut memulai era batik cap. Pola yang terbentuk pada batik cap biasanya berbentuk persegi. Batik cap ini kemungkinan besar terinspirasi oleh alat cap berbahan kayu yang sudah lama digunakan di India.
Raffles memperkenalkan penggunaan teknik batik cap di Indonesia pada awal abad ke 19. Ia membuat pakaian imitasi India dengan pola yang di cap seperti di India. Teknik ini berkembang di Palembang dalam sebuah periode. Dalam perkembangannya, pola cap dengan bahan malam ditemukan di Aceh pada akhir abad 19. Pola-pola cap ini juga banyak ditemukan di Jambi. Selain produksi sendiri, di Jambi juga ditemukan kain-kain impor yang dibuat dengan teknik cap. Peninggalan alat kuno untuk membuat cap berbahan kayu, masih bisa ditemukan di Palembang. Penggunaan alat cap berbahan kayu ini merupakan pendahulu dari alat tembaga untuk membuat batik cap.
Masuknya teknik cap berdampak besar pada produksi batik. Pengusaha dari Arab dan China melihat hal ini sebagai potensi bisnis. Mereka berbondong-bondong mengadakan pelatihan pembuatan batik dengan teknik cap yang terpusat di wilayah pesisir Jawa bagian utara. Batik yang sebelumnya banyak diproduksi oleh kaum wanita, mulai dikerjakan oleh para pria yang memproduksi batik cap di pabrik. Hal ini disebabkan beban kerja di pabrik lebih menuntut peran laki-laki yang mengutamakan daya tahan fisik. Lambat laun, produksi batik tulis yang menjunjung tinggi makna batik melalui simbol-simbol yang terkandung dalam pola batik menurun. Produksi batik tulis tergeser oleh batik cap yang lebih menguntungkan dari segi finansial.
Dampak dari komersialisasi batik adalah penggabungan gaya dari berbagai daerah. Koneksi antara makna dan motif tergusur oleh kepentingan mode. Penjualan batik menjadi lebih mementingkan selera pasar dan tren dibanding makna yang terkandung dari motif batik. Disisi lain, proporsi masyarakat yang membeli batik tulis menurun, akibatnya batik yang dicetak dan imitasi mendominasi pasar.
Namun apapun yang terjadi, batik tulis masih tetap bertahan. Perajin batik tulis berjuang mempertahankan tradisi di tengah gempuran batik cap. Karena produksinya yang terbatas, sebuah batik tulis yang bagus dapat dihargai mahal. Meski peminatnya mengalami penurunan, batik tulis masih diburu oleh para kolektor. Gelombang batik cap, tidak dapat menenggelamkan batik tulis selama masih ada masyarakat yang menghargai dan bangga mengenakan harta warisan bangsa.
Demikian sejarah batik cap yang perlu diketahui, semoga bermanfaat bagi Anda pecinta batik.